Senin, 17 September 2012

Pohon Randu Seribu Tahun

Dalam kepalaku, tumbuh sebatang pohon randu. Renta dan kering. Entah berapa umurnya. Mungkin seribu tahun. Pohon itu belum mati. Tepatnya belum mau mati. Masih ada yang dinantinya.

Sekian lama dia hanya menggenggam pucuk-pucuk buahnya. Tak mau berbuah lagi. Bahkan daun-daunnya dibiarkan cokelat dan gugur. Rantingnya pun dibiarkan kurus. Patah satu-satu.


Apa kalian lihat pucuk-pucuk buahnya yang hijau? Hanya itu satu-satunya yang tersisa darinya. Di dalamnya ada kumpulan serat kapuk yang tertidur. Putih, hangat. Bayi-bayi kapuk itu menunggu. Menunggu hingga pohon randu membuka buahnya. Menunggu terbebas. Menunggu terjatuh dengan perlahan. Seperti butiran salju yang juga putih. Halus dan hangat.



Minggu, 13 Mei 2012

Ini yang terjadi jika Pinterest tak sebatas dunia maya


Apa yang terjadi jika Pinterest tak hanya dilakukan melalui dunia maya, tetapi juga di dunia nyata? Sebuah film parodi buatan The Comediva yang diberi judul "Pinsanity!" ini menggambarkannya dengan baik.


Dalam film parodi singkat ini, diperlihatkan seorang wanita Asia-Amerika bernama Petunia yang diperankan oleh Deborah S Craig. Wanita ini mengambil apapun milik orang lain yang disukainya secara sembarangan. Semuanya, mulai dari kue mangkuk, sepatu, anting-anting, bahkan bra olahraga yang sedang digunakan oleh seorang wanita.


Petunia memasang semua benda-benda itu dengan pin pada sebuah papan di kamarnya. Kemudian, ketika temannya yang bernama Priya datang, dia memamerkan "papan pin"-nya pada temannya. Priya terkejut saat melihat barang-barang miliknya ditempelkan di papan tersebut.


Kegemaran memasang barang milik orang ini menjadi tak terkendali. Petunia terobsesi untuk menjadikan semua benda yang disukainya menjadi pajangan di papan pin miliknya. Hingga akhirnya dia membunuh temannya dan memajang kucing miliknya.


Benarkah sesungguhnya Pinterest memiliki kecenderungan seperti ini? Mengambil gambar-gambar milik orang lain tanpa mempedulikan hak cipta, kemudian memasangnya pada papan milik kita sendiri untuk kemudian ditunjukkan pada orang lain? Bagi pendapat Anda!



Sumber: merdeka | Berita Sukhoi

Minggu, 18 Maret 2012

MADRE : A Review


Penulis : Dee/ Dewi Lestari
Penerbit : Penerbit Bentang
Cetakan Pertama : Juni 2011
Tebal : 162 halaman, soft cover (paperback)
ISBN : 978-602-8811-49-1

Kumpulan cerita “Madre” berisi 13 cerita dan prosa pendek. Saya selalu suka dengan cara Dee yang bebas membuat cerita tanpa peduli batasan formalitas seperti jumlah halaman. Itulah kenapa dalam Madre (sebenarnya pada semua kumpulan cerpen Dee, seperti “Filosofi Kopi” juga) jumlah halaman tiap cerita berbeda. Bisa panjaaaaang seperti “Madre” (yang seharusnya tidak disebut cerpen tapi cerpan) dan ada yang singkat-singkat seperti “Semangkok Acar untuk Cinta dan Tuhan” dan “Rimba Amniotik”. Ada juga yang dimaksudkan sebagai puisi atau prosa pendek, seperti “Percakapan di Sebuah Jembatan”.

Madre sendiri, sebagai cerita utama dan pembuka dari kumpulan cerpen ini, mengisahkan tentang seorang pemuda bernama Tansen. Tansen yang tinggal di daerah pantai dan wisata Bali dan biasa hidup bebas dengan banyak pekerjaan tak tetap (yang oleh Pak Hadi kemudian disebut “serabutan”, haha) tiba-tiba saja harus datang ke Jakarta, kota yang tidak disukainya karena kematian seorang pria tua bernama Tan. Tansen tiba-tiba saja harus dihadapkan pada kenyataan bahwa dia adalah keturunan dan ahli waris dari pria bernama Tan itu. Tak hanya itu, Tansen juga mewarisi Madre, yang tak lain adalah biang roti… dan sebuah toko roti yang sudahlama mati suri bernama Tan de Bakker.

“Saya cari di Google, kata ‘Madre’ itu ternyata berasal dari bahasa Spanyol, artinya ‘Ibu’. Madre, Sang Adonan Biang, lahir sebelum ibu kandung saya. Dan dia bahkan sanggup hidup lebih panjang dari penciptanya. “
“Mengerikan.”

Madre selanjutnya mengisahkan tentang pergumulan pemuda yang terbiasa bebas dan tak suka terikat itu untuk menghidupkan kembali toko roti yang diwariskan padanya. Tansen yang tak pernah punya mimpi, untuk pertama kalinya merasa memiliki mimpi dan tujuan dalam hidupnya.

Walaupun ada beberapa cerita yang tidak begitu saya suka, dan kadang tidak saya mengerti maksudnya (hehe :p) dalam buku Kumpulan Cerita Madre, saya selalu mengagumi gaya bercerita Dee. Bagaimana kata-kata sederhana yang digunakannya selalu bisa memberikan makna yang dalam. Bagaimana emosi yang ada dalam tulisannya sampai, dan dapat membuat pembacanya terharu meskipun Dee tak menulis kalimat-kalimat cengeng. Dee juga tak lupa memberikan sisipan-sisipan humor yang ringan namun selalu mengena.

Di antara segala kepiawaiannya bercerita, saya juga mengacungkan jempol untuk setiap ide-ide yang dipaparkan oleh Dee. Ide yang selalu tak biasa. Sebagian mengenai hal-hal yang sederhana, namun sebagian saya yakin muncul dari perenungan yang panjang. Seringkali Dee menyuguhkan ide-idenya tanpa memaksa atau menghakimi.

Last, Kumpulan Cerita Madre hampir sama dengan kumpulan cerita Dee yang lain. Masih ringan dan masih sangat berkesan. J 

Satu kutipan yang saya suka dari Kumpulan Cerita ini: 
”Itulah cinta. Itulah Tuhan. Pengalaman, bukan penjelasan. Perjalanan, bukan tujuan. Pertanyaan, yang sungguh tidak berjodoh dengan segala jawaban.”
- Semangkok Acar Untuk Cinta dan Tuhan -