Jumat, 22 April 2011

METEORA (Kisah Bintang Tak Bernama)



Mari, duduklah di sini. Biar kuceritakan padamu sebuah kisah, tentang cinta sebuah bintang yang tak bernama. Ketahuilah, bahwa di langit malam yang berpendar ada jutaan bintang yang hidup dan berkembang. Salah satunya adalah dia, sebentuk bintang yang tak bernama. Tak bernama karena bintang yang layak disebut hanya mereka yang berada di pusat konstelasi, sementara dia hanya bintang paling mungil yang berjajar rapi di sudut rasi virgo. Yang setiap harinya berbaris rapi dan berotasi mendampingi Spyca, sang ratu konstelasi. Dia hanya bintang pelengkap, yang tidak dikenal, yang tidak pernah diperhitungkan.
Tapi cinta memanglah sebuah misteri, yang tak akan pernah kita ketahui akan meracuni siapa. Pada bulan September yang dingin, ketika konstelasi itu menghampiri langit bumi, Bintang Tak Bernama itu jatuh cinta. Virus itu mulai menjangkiti ketika dilihatnya wajah rupawan Sang Bumi.
Sejak itu dia jadi demam. Tubuhnya membara dan membeku, menunjukkan suhu yang tak menentu. Dia mulai berhalusinasi tentang wajah Sang Bumi setiap hari. Malam adalah waktu untuk memuaskan kecanduannya. Sementara pagi hingga siang dia akan bertingkah aneh, meracau, gemetaran karena rindu pada wajah kekasihnya.
Kelakuannya membuat semua bintang di jalur konstelasi kebingungan.
“Si Bintang Tak Bernama sudah gila!” Seru salah satu dari mereka.
“Tidak, dia hanya jatuh cinta,” tandas yang lain.
“Bintang tidak boleh jatuh cinta, apalagi pada bumi,” cibir yang lain lagi, ketus.
“Cintanya tidak mungkin kesampaian, selamanya hanya akan bertepuk sebelah tangan,” oceh mereka lagi.
“Ah, itu sebabnya dia jadi gila,” tambah yang lain.
Semua bintang pun setuju, heran, dan merasa kasihan. Setelah itu mereka pun berduyun-duyun mendatangi Sang Ratu. Melaporkan apa yang sudah mereka simpulkan bersama. Spyca yang bijaksana menenangkan mereka, dan memutuskan untuk menemui Si Bintang Tak Bernama.
Terbukti, semua ucapan para bintangnya benar. Keadaan Bintang Tak Bernama sudah sangat gawat. Tak hentinya dia meracau dan demam sepanjang pagi hingga sore, dan termenung dengan mata sayu yang berbinar ketika malam datang. Ketika dia bisa leluasa memuaskan kerinduannya pada wajah Sang Bumi. Bintang Tak Bernama itu sakit.
“Bersabarlah, wahai Bintang Tak Bernama. Bumi tidak diperuntukkan bagi kita. Perasaanmu yang berlebihan hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Bersabarlah, tenangkan dirimu. Sadarlah akan kedudukan dan tugasmu sebagai bintang di jagad raya ini,” bisiknya pada Bintang Tak Bernama.
Sang Ratu memang benar, dia hanya bintang kecil yang sudah ditakdirkan berada di angkasa selamanya. Menyentuh bumi yang berjarak jutaan tahun cahaya adalah mustahil. Dia bisa saja cacat atau mati ketika melakukannya. Akhirnya bintang yang sedang sakit itu patuh, mencoba bersabar dan menahan rasa cintanya.
Tapi sejarah alam semesta sudah membuktikan. Seperti penyakit mematikan yang lain, cinta adalah penyakit yang tak mudah sembuh, pun mudah kambuh. Suatu ketika Si Bintang Tak Bernama itu habis kesabaran. Rasa cintanya yang gila membuncah dan semakin besar. Tak bisa lagi ditahannya rindu yang hampir meledakkan seluruh tubuhnya. Tanpa sepengetahuan para bintang yang lain, dia berniat menjatuhkan dirinya.
Tak dipedulikannya rasa sakit yang mungkin akan menderanya. Juga kumpulan benda-benda langit yang akan menghalangi jalannya. Semua gerbang langit dan atmosfer akan dilewatinya. Tekadnya sudah bulat, dia tidak akan lagi jadi bintang pasrah yang hanya bisa berdiam diri. Dia akan bertindak.
Sang Bintang Tak Bernama segera keluar dari orbitnya yang sudah lama goyah. Terjun menuju ruang angkasa yang pengap tanpa udara. Badannya berpijar demi menembus atmosfir yang mengoyaknya menjadi serpihan. Rasa sakit yang tak terperi membaluri seluruh tubuhnya. Hingga dilihatnya Sang Bumi membentangkan tangan, siap memeluk dirinya. Pijarnya semakin besar, seperti rasa rindunya yang membara. Mereka saling bertubrukan, berpelukan. Mereka telah bersatu.
Sang Bumi menutup lukanya. Meniup pijar dan rasa rindunya menjadi asap, tak berbekas. Bintang Tak Bernama itu sudah mati. Tapi dia tersenyum ketika meregang nyawa. Dia sudah tenang. Jiwanya akan selamanya menyatu dengan Sang Bumi yang terkasih. Impiannya sudah tercapai.
Sejak saat itu, dia tidak lagi menjadi Bintang Tak Bernama. Makhluk bumi menamakannya meteor. Meteor yang berpijar karena tergila-gila oleh cinta. Meteor yang bersedia remuk-redam demi memenuhi mimpinya, bersanding dengan Sang Bumi.
Jika nanti kau menemukan sebuah bintang yang berpijar di langit, ingatlah dia. Bukan tentang kegilaan cintanya pada Sang Bumi, melainkan tentang tekadnya untuk mengubah nasib dan memilih jalan takdirnya sendiri.***

19 April 2011
sambil menunggu lintang kemukus
Silananda

1 komentar:

  1. berbeda dari cerita2 bintang yg pernah saya baca.. ga klise, n of course it's a nice story :)

    BalasHapus