Senin, 11 April 2011

Terjerat


Aku melihatnya, tidak sengaja, dalam keremangan malam tanpa cahaya. Buppha, ibu tiriku yang jahat, mengendap-endap seperti maling di dekat ranjang ayah. Meracik sesuatu dan memasukkannya ke dalam gelas ayah yang berisi cha yen[1]. Semalaman aku menebak-nebak apa kira-kira yang dimasukkan Buppha pada minuman itu. Tidak perlu penasaran terlalu lama, karena esoknya aku langsung mendapat jawaban.
Hari masih awal ketika Ayah akan berangkat melaut. Tiba-tiba saja badan ayah panas. Tubuhnya dipenuhi bintik-bintik merah yang aneh, ototnya menegang, terlihat menonjol di semua pori-pori kulitnya. Matanya membelalak, menakutkan. Badannya mengejang. Tak lama kemudian ayah muntah. Darah! Banyak sekali darah, dimana-mana. Aku menjerit memegangi ayah tanpa tahu harus berbuat apa.
“Dimana Buppha? Buppha, tolong Ayah!” Aku panik, sementara darah terus keluar membasahi baju ayah dan kedua tanganku. Perempuan sialan itu tidak juga muncul, sampai ayah terkulai lemas. Badannya tidak lagi kejang, ototnya mengendur, matanya tertutup. Aku mulai menangis dengan keras. Menempelkan kepalaku pada dada ayah yang basah oleh cairan pekat. Tidak ada detak, tidak ada gerakan ke atas dan ke bawah. Aku merasakan detak jantungku ikut berhenti. Aku melihat wajah ayah dengan seksama, meraba denyut nadi pada lehernya. Tidak ada apa-apa.
Rasa dingin menjalari tubuhku. Ayah sudah mati. Lalu perlahan kudengar langkah-langkah di belakangku. Buppha. Dia terkekeh, tubuhnya berguncang karena tawa. Dia melihat wajahku yang penuh tanda tanya. Racun… yang ditaruhnya dalam cha yen ayah adalah racun. Dia membunuh ayahku! ***
Bian terbangun, nafasnya memburu. Peristiwa itu lagi. Rasanya sudah beratus-ratus tahun peristiwa itu selalu hadir dalam tidurnya. Terputar terus, berulang-ulang, seperti piringan hitam yang rusak. Ayahnya yang dibunuh oleh ibu tirinya, sementara dia tidak bisa berbuat apa-apa. Seharusnya malam itu dia bisa mencegah Buppha.
Ugh, kemarahan itu masih ada setiap kali dia mengingatnya. Bayangan Buppha yang terkekeh di depan jasad ayahnya. Wajah iblisnya yang penuh kemenangan. Perempuan jalang! Bian merasakan darahnya mengalir sampai ke ubun-ubun. Dia sangat membenci wanita itu, sangat, sangat!
Bian bangun dari ranjangnya, pantulan bulan pada cermin di kamarnya sedikit menenangkannya. Dipandanginya cermin bulat yang berdebu itu lamat-lamat. Sudah lama bayangannya tidak terlihat lagi dalam cermin. Dia melihat ruangannya. Sekarang semuanya hampir tertutup debu. Sudah lama rumahnya kosong. Hanya dirinya, gadis berusia 15 tahun, seorang diri.
Dia ingat, setelah membunuh ayahnya, Buppha menikah lagi. Dengan laki-laki yang lebih muda bernama Channarong, yang sama jahatnya dengan Buppha. Rupanya siasat untuk meracun ayahnya adalah ide Channarong. Dia ingin mengambil rumah ini, perahu, dan tambak udang milik ayah.
Ketika mengetahuinya, Bian semakin marah. Sudah tidak terkira lagi kemarahannya. Kebencian yang sangat besar dirasakan Bian pada Buppha dan Channarong. Dia bersumpah demi Tuhan yang telah memberinya kehidupan, jika diberi kesempatan dia akan segera membunuh mereka berdua. Tapi itu tidak perlu, Sang Pemberi Hidup sudah memiliki skenario-Nya sendiri untuk Buppha.
Setelah hampir dua tahun pernikahan mereka, Channarong memiliki wanita lain. Tidak heran, karena dia sendiri memang masih muda sementara Buppha semakin hari semakin menua dan kusut. Mereka berdua bertengkar hebat, saling menampar dan memukul. Sampai akhirnya Channarong hilang kendali dan mencekik Buppha sampai mati. Iya, benar-benar mati. Bian ada di sana tentu saja, melihat Buppha terbunuh oleh kedua tangan kekasihnya sendiri. Bian tertawa, tertawa sangat keras. Mukanya terlihat seperti monster dengan seringai yang lebar. Dia puas! Puas melihat Buppha mati mengenaskan! Bian menari di atas mayat Buppha, bersuka cita melihat ibu tiri yang sangat dibencinya itu mati!
Bian masih merasakan gairah yang aneh setiap kali mengingat bagaimana ibu tirinya mati. Dia masih merasa senang. Tapi tak lama kemudian Bian mendesah. Dia pikir setelah melihat ibunya mati, dia akan tenang. Tapi ternyata tidak.
***
Pagi ini seperti biasa Bian mengunjungi kuil di dekat pantai. Kuil itu sudah berulangkali di renovasi. Biksu-biksu dari berbagai tempat silih berganti tinggal di sana. Beberapa waktu yang lalu sekitar 10 kapal dari utara berlabuh, dan menurunkan biksu-biksu gundul berkulit putih bersih. Biksu-biksu yang lama biasanya tidak mempedulikan Bian. Membiarkannya berkeliling di sekitar kuil, bermain, kadang bersembahyang.
Tapi rupanya hari ini tidak sama. Seorang biksu yang nampak baru datang mendekatinya. Bian sedikit ketakutan dan bersembunyi di balik rumpun bambu yang baru tumbuh.
“Tidak usah takut,” kata biksu itu lembut. Bian melongokkkan kepalanya. Wajah biksu itu terlihat ramah. “Siapa namamu?” tanyanya.
“B… Bian, anak perempuan Khemkhaeng.” Bian menjawab, terbata-bata.
“Hmm… kulihat kau adalah makhluk yang baik.” Gumam biksu itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kenapa kau masih di sini?” tanyanya lagi.
“Apa maksudmu?” Bian tidak mengerti. Biksu itu terlihat sedikit terperangah.
“Makhluk baik, Bian, ruhmu sudah terlepas dari raga. Seharusnya kau sudah tidak terikat pada alam yang fana ini lagi,” jawab Sang Biksu.
Bian tiba-tiba pusing. Seolah ada sebuah godam raksasa yang menumbuk kepalanya bertubi-tubi. Walaupun begitu, Bian tahu biksu itu benar. Hanya dirinya saja yang sudah hampir lupa. Dia sudah bertemu dengan kematian beratus-ratus tahun yang lalu.
Bian memandang penuh kebencian pada Buppha yang masih tertawa. Lalu tiba-tiba saja Buppha menyeretnya dengan kasar. Memasukkannya pada kotak kayu yang biasa digunakan ayahnya untuk menyimpan jala. Kotak kayu itu berongga. Dindingnya seperti jeruji, jadi Bian bisa melihat semuanya. Buppha menyeret kotak kayu itu ke pantai. Mengikat dua buah jangkar milik ayahnya ke pinggiran kotak. Bian masih menjerit-jerit, memuntahkan beribu sumpah serapah pada ibu tirinya. Bertanya dengan kasar, apa yang akan Buppha lakukan padanya.
“Ayahmu yang tolol itu sudah mati. Sekarang giliranmu!” Bian masih bisa mengingat desisan Buppha, dan matanya yang nyalang seperti setan. Itu adalah hal terakhir yang dilihatnya dari Buppha, sebelum Buppha menghanyutkannya ke laut.
Awalnya Bian hanya terseret ombak, mengapung. Tapi berat jangkar terus menariknya ke bawah. Kotak itu tenggelam, begitu juga Bian. Bian mencoba menahan nafas. Meronta-ronta, mengoyak kotak kayu itu agar terbuka. Bian ketakutan, tapi rasa bencinya pada Buppha lebih besar. Setelah beberapa lama, Bian kehabisan udara. Air laut yang asin menyerbu masuk melalui hidung, mulut, dan telinganya. Kemudian memenuhi paru-parunya. Akhirnya, semuanya gelap. Ketika sadar, dia sudah berada di tepi pantai. Dia mengira bahwa Tuhan pasti sudah memberinya kehidupan kedua. Kesempatan untuk mengakhiri hidup Buppha.
Biksu berkulit cerah itu mengangguk-angguk, mendengar cerita Bian. Memahami bahwa makhluk malang itu telah terjerat di alam fana, terbelenggu oleh rasa dendam pada ibu tirinya.
“Bian, dengarkan aku. Semua ruh yang telah keluar dari raga harus kembali pada Sang Pencipta. Mereka yang tidak kembali berarti telah tersesat. Aku mengerti sekarang. Kau masih disini karena rasa bencimu pada ibu tirimu. Ibumu mungkin telah berbuat jahat, tapi dia akan mendapat balasan perbuatannya sendiri dari Sang Pencipta. Kebencianmu tidak akan menghukumnya, malah merugikan dirimu sendiri.”
Biksu itu benar. Bian mengetahuinya ketika melihat Buppha mati. Dia masih tidak tenang. Kebencian masih terasa walaupun dia sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Kemarahannya yang sia-sia. Semua hal itu yang kemudian membelenggunya. Mengikat ruhnya dalam kegelapan. Kegelapan yang menyesatkan, kosong, penuh kebencian.
“Bantu aku untuk kembali, Biksu baik.” Bian memohon.
“Dirimu sendiri lah yang bisa melakukannya. Aku hanya bisa mengantarmu dengan do’a. Lepaskanlah, makhluk baik, lepaskan semua kepedihanmu. Lepaskan semua dendammu. Maafkanlah. Lepaskan, dan maafkanlah…” kata biksu itu.
Lagi-lagi dia benar. Bian tiba-tiba ingin menangis. Dia memejamkan mata. Membayangkan jasad ayahnya yang penuh dengan darah, ayahnya yang sangat dia sayangi, ayahnya yang baik. Bian sesenggukan.
“Lepaskan…” bisik Bian pada dirinya sendiri.
Kemudian bayangan di kepalanya berubah. Dia melihat tawa jahat Buppha, seringainya yang paling dia benci, makiannya, perbuatannya yang kejam pada ayahnya. Buppha yang sudah membunuhnya, menenggelamkannya di laut, Buppha yang seperti monster.
“Maafkan…” lirihnya. Bian mengernyit, memaafkan memang tidak pernah mudah. Tapi dia sudah bertekad. Dadanya yang terasa sesak mulai longgar. “Aku memaafkanmu Buppha… sungguh… kumaafkan kau.” Bian menggumam. Sementara didengarnya Sang Biksu mulai membaca parita[2].
Tiba-tiba badannya terasa ringan. Jiwanya terasa kosong. Dia membuka mata. Langit yang berwarna biru muda terlihat sangat cerah. Awan-awan putih berarak minggir, membuat sebuah lubang kecil yang penuh cahaya. Cahaya itu perlahan-lahan turun ke arahnya. Bian bermandikan cahaya kuning berkilauan. Dia melihat Sang Biksu. Biksu itu tersenyum, menangkupkan tangannya, dan menunduk pada Bian.
“Terima kasih biksu baik,” bisiknya. Bian menangkupkan tangannya, dan membungkuk balik pada Sang Biksu.  Badannya melayang perlahan, terus naik menuju lubang tempat cahaya itu berasal. Dia menengadahkan mukanya. Di antara terang yang menyilaukan itu, dia melihat senyum yang sangat dikenalnya. Senyum yang paling dia rindukan. Senyum Khemkhaeng, ayahnya.
Sang Biksu melihat Bian menghilang. Bersyukur karena makhluk itu berhasil lepas dari belenggu kebencian. Hari ini dia telah belajar satu hal. Dendam. Apa yang bisa ia lakukan pada jiwa baik seperti Bian, sungguh mengerikan. Sang Biksu menangkupkan tangannya lagi, memohon pada Sang Pencipta. Semoga semua makhluk dijauhkan dari dia, yang bernama dendam. Dendam dengan beribu sulur yang menjerat. Sungguh, kenapa dendam begitu pekat? ***


[1] Sejenis teh hitam khas Thailand
[2] Do’a dalam agama Budha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar