Senin, 17 September 2012

Pohon Randu Seribu Tahun

Dalam kepalaku, tumbuh sebatang pohon randu. Renta dan kering. Entah berapa umurnya. Mungkin seribu tahun. Pohon itu belum mati. Tepatnya belum mau mati. Masih ada yang dinantinya.

Sekian lama dia hanya menggenggam pucuk-pucuk buahnya. Tak mau berbuah lagi. Bahkan daun-daunnya dibiarkan cokelat dan gugur. Rantingnya pun dibiarkan kurus. Patah satu-satu.


Apa kalian lihat pucuk-pucuk buahnya yang hijau? Hanya itu satu-satunya yang tersisa darinya. Di dalamnya ada kumpulan serat kapuk yang tertidur. Putih, hangat. Bayi-bayi kapuk itu menunggu. Menunggu hingga pohon randu membuka buahnya. Menunggu terbebas. Menunggu terjatuh dengan perlahan. Seperti butiran salju yang juga putih. Halus dan hangat.



Dulu, dua tangan cokelat datang menaruh biji randu itu di kepalaku. Pohonnya tumbuh subur. Tinggi menjulang. Semua orang yang mendengar kabar tentang pohon randu itu berdatangan. Mereka mengagumi sari pati yang dihasilkannya. Pohon randuku digemari.

Lalu entah sejak kapan, pohon randu tak lagi mau tumbuh. Bersamaan dengan menghilangnya dua tangan cokelat yang kokoh itu.


Aku pernah melihat dua tangan cokelat yang kokoh itu menimang pohon lain. Dua, tiga, bahkan sepuluh pohon lain. Berbeda-beda, berupa-rupa. Sebagian lebih cantik, lebih besar, lebih banyak daunnya dibanding pohon randu. Amboi, sebagian bahkan berbuah. Buah-buah manis. Tak seperti serat kapuk yang bisa menyumbat hidung dan telinga.


Padahal dia dan pohon randu pernah bercinta. Padahal bayi-bayi lucu telah lahir dari keduanya. Ah, pohon randu yang patah hati. Kini tak hanya dua tangan cokelat itu yang pergi. Bayi-bayinya juga menghilang satu-satu. Keluar dari kepalaku.


“Adakah mereka berjanji akan kembali?” Pohon randu pernah bertanya padaku.


“Ya,” kujawab penuh kebohongan.


“Jika begitu akan kutunggu.”


Betapa kusesali jawabanku kala itu. Kini dia menanti bayi-bayinya yang mungkin takkan datang.


Tapi coba dengarlah. Ada derap kaki berdatangan. Sol sepatu. Kereta, dan beberapa dentingan. Setelah sekian lama, mungkinkan bayi-bayi itu pulang?


Oh, bukan Kawan. Itu bukan bayi-bayi pohon randu. Wajah mereka kosong, meski senyum ada di sana. Sol sepatu mereka berkarat. Kereta kuda mereka berwarna gelap. Ini bukan pertanda bagus, Kawan. Apalagi jika kalian melihat jumlah kapak yang mereka bawa.


“Mana pohon randumu?” tanya salah seorang dari mereka. Pria tambun dengan wajah berminyak.


Aku diam saja.


“Kudengar dia sudah hampir mati,” sergahnya lagi. Aku masih diam.


“Kau tahu, lahan dalam kepalamu itu mahal. Kalau dia mati suri terus, sebaiknya segera kita tebang!” Sahut pria lain di belakang pria tambun tadi. Yang ini punya kumis dan tiga tanduk di atas kepalanya.


Aku masih hening, tapi diam-diam berharap pohon randu segera membuka mata. Pria-pria ini tak bisa disalahkan. Isi kepalaku memang mahal. Tak bisa diisi oleh benda stagnan yang tak jelas manfaatnya seperti pohon randu ini.


Tapi bukankah pohon randu ini sudah berumur seribu tahun? Bukankah dia sudah berada di sana, sebelum hal-hal lain masuk ke kepalaku?


Ah, tapi pria-pria ini tak tahu romantisme. Apa gunanya pohon seribu tahun jika sudah tak berguna?


“Tolong tunggulah sebentar,” jawabku akhirnya, lebih seperti tikus yang mencicit saat meregang nyawa.


“Menunggu apa? Menunggu pohon ini jadi kayu lapuk?” tanya si tanduk tiga. Aku tak bisa menjawab.


“Tunggu sampai bayi-bayiku pulang,” bisik pohon randu. Pelan, hingga hanya aku yang bisa mendengar. “Setelah melihat mereka, aku akan tidur dengan tenang.”


Permohonannya menusukku. Bayimu takkan datang! Kalau saja bisa kumuntahkan kata-kata itu.


“Buka kepalamu lebar-lebar!” Pria tambun meringsek maju. Kapak-kapak dibagikan. Saling digesekkan hingga terasah sempurna.


Aku mundur perlahan.


Derap langkah kaki lain tertangkap oleh telingaku. Kali ini lebih tenang, namun jelas tampak terburu-buru. Tak ada denting aneh yang menyertainya. Hanya gesekan. Seperti bulu yang beradu dengan kertas.


Aku melihat sesosok wajah. Muda, bersih, seolah sudah kukenal bertahun-tahun. Pohon randu membuka matanya. Setelah sekian lama, segaris senyum muncul di guratan kayunya.


“Dia sudah datang,” bisiknya lemah.


Lalu pucuk-pucuk buahnya pun membuka. Serentak. Jutaan bayi-bayi kapuk tumpah ke langit. Menutupi awan. Menyelimuti matahari. Putih. Hangat. Melompat bersamaan. Terjun perlahan-lahan.


Ini seperti perayaaan besar. Dalam sekejap, pohon randu itu tampak hidup. Sehidup-hidupnya. Mulutku menganga. Terpesona, sekaligus teriris. Inikah caramu merayakan kematian, pohon randu?


Pria-pria tadi mengumpat, lalu entah pergi ke mana. Pandanganku beralih pada sosok-sosok yang mulai muncul dari badai kapuk. Bayi-bayi randu. Ternyata tak hanya satu. Sayangnya mataku yang berair tak mampu menghitungnya. Dua puluh kah? Enam puluh? Atau ratusan?


“Mereka datang…” bisikku pada pohon randu yang sudah tertidur. “Mereka datang…”

***

#meregangkan tangan setelah sekian lama tidak menulis fiksi
Silananda - 07092012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar